Permasalahannya
adalah, apakah upaya ini benar – benar akan berhasil mewujudkan guru
profesional seperti yang diharapkan. Munculnya gagasan peningkatan kualitas guru bermula pada peringatan Hari
Guru Nasional tanggal 2 Desember 2004. Pada saat itu Mendiknas dalam rangka
penyampaian program 100 hari kerja kabinet, menegaskan satu tema, yaitu “guru
sebagai profesi”. Tentu saja pernyataan itu sendiri bukan sesuatu yang baru
karena sejak awal munculnya pekerjaan ini hakikatnya sudah diakui sebagai
profesi, bahkan profesi terhormat. Yang lebih menarik sebenarnya bahwa tema itu
menunjukkan tekad Mendiknas untuk meningkatkan harkat dan martabat guru yang
sedang terpuruk. Keterpurukan tersebut bisa dilihat antara lain pada realitas :
menjadi guru tampaknya bukan pilihan pekerjaan yang ideal (kalau ada peluang
lain ini akan ditinggalkan), juga dari realitas input siswa ke lembaga
pendidikan guru bukan lulusan terbaik dari sekolah, yang terlihat dari
kelemahan penguasaan materi dari guru-guru yang dihasilkannya; dan yang juga
merupakan kenyataan bahwa guru-guru banyak yang melakukan pekerjaan tambahan
(yang sering bukan pekerjaan wajar) yang diakibatkan gaji/kesejahteraan guru
yang sangat rendah.
Maka dari itu, niat/tekad Mendiknas meluncurkan satu paket pembaharuaan
di bidang mutu guru ini tentunya patut diapresiasi, apalagi kemudian didukung
dengan upaya- upaya nyata ke arah realisasi tujuan tersebut (dengan undang-undang
serta program-program pendukungnya). Namun, pertanyaan mendasar yang perlu
diajukan adalah, apakah niat baik tersebut benar-benar bisa diwujudkan
mengingat kondisi objektif yang ada justru belum sinkron dengan upaya-upaya
yang sedang dijalankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar