Selasa, 10 Januari 2012

GURU ITU TIDAK GAMPANG LHO


Selama ini guru cenderung dianggap sebagai profesi kelas dua. Sebagian besar orang tidak mau menjadi guru, kecuali karena kepepet alias daripada menganggur.
Ada anggapan seakan siapa pun yang sudah mengantongi ijazah sarjana bisa menjadi guru asal dia mau. Pekerjaannya juga mudah, hanya pagi datang, mengajar, siang sudah bisa pulang.
Profesi guru cenderung dianggap gampang. Orang sering kali lupa bahwa guru memegang peranan penting dalam proses pendidikan. Walaupun bukan merupakan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, guru tetaplah merupakan titik sentral proses pendidikan. Tanpa guru, proses pendidikan akan timpang.
Lahirnya Undang-Undang (UU) Guru dan Dosen membawa sedikit angin segar bagi profesi guru. UU ini menjadi semacam payung hukum, sekaligus merupakan bentuk pengakuan pemerintah terhadap profesi guru. Diharapkan dengan adanya UU Guru dan Dosen martabat guru semakin dihargai, profesi guru dapat berkembang sejajar dengan profesi-prosesi lain, dapat mendorong peningkatan kualitas guru, dan akhirnya bermuara pada peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air.
Paling tidak dengan adanya UU Guru dan Dosen, saat ini profesi guru pun mulai dilirik orang, khususnya setelah UU tersebut menjanjikan perbaikan kesejahteraan guru, yaitu tunjangan sebesar satu kali gaji pokok dan tambahan tunjangan fungsional. 

SISTEM SEDEKAH KEPEDULIAN SOSIAL



 SISTEM SEDEKAH KEPEDULIAN SOSIAL jika di Indonesia jumlah penduduk 241 juta dengan model sedekah 1000 rupiah sehari terkumpul Rp. 241.000.000.000,-(dalam sehari) jika 30 hari sampai 12 bulan sdh Rp. 87 760.000.000.000,- (Delapan Puluh Tujuh Triliyun Tujuh Ratus enam puluh milyar rupiah) JIKA MODEL SEDEKAH ini diterapkan secara Nasional Tingkat Pusat 12,5%, Propinsi :12,5%, Kabupaten :12,5%,Kecamatan :12,5%, Desa :12,5%, Dusun:12,5%, RW :12,5%, RT :12,5% maka akan mendapat pembagian sekitar Rp. 10. 845.000.000.000,00 ( SEPULUH TRILIYUN DELAPAN RATUS EMPAT PULUH LIMA MILAYR RUPIAH) APAKAN HAL INI tidak bisa menolong KEMISKINAN , PENGANGGURAN, RUMAH SAKIT GRATIS, SEKOLAH GRATIS, TIDAK ADA LAGI PENGEMIS...SIAPA YANG SETUJU...AYO KITA PEDULI

PENDIDIKAN PILAR KEMAJUAN BANGSA



Pendidikan adalah pilar penting kemajuan suatu bangsa. Para pendiri bangsa kita juga telah mengamanatkan pengelolaan pendidikan nasional yang dituangkan dalam UUD 45. Dalam perjalanan bangsa Indonesia, setelah sekian lama maju mundur, saat ini Indonesia berada pada peringkat 108 dalam ‘Education of Human Development Index’ dari total 169 negara. Ini bukan fakta yang membanggakan, di tengah kenyataan begitu banyaknya problematika melilit pendidikan nasional.
Mutlak, seluruh elemen bangsa harus bergerak menuntaskan masalah-masalah tersebut secara komprehensif. Harus ada gotong royong tingkat nasional yang diimplementasikan untuk mengatasi permasalahan pendidikan nasional. Dan sebagai targetnya, sistem pendidikan nasional harus mampu menciptakan tenaga kerja yang berdaya saing tinggi, yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa di dunia internasional.
Pemerintah sebenarnya telah mencoba memetakan problematika tersebut, sampai dengan mengembangkan cetak biru solusinya. Namun masih banyak yang belum tersentuh upaya pemerintah tersebut. Di beberapa daerah di Jawa, telah teridentifikasi bahwa masih banyak kasus drop out/putus sekolah di semua jenjang pendidikan. Dalam tataran yang lebih tinggi, ada masalah besar dalam pemerataan pendidikan dan perluasan akses pendidikan. Kualitas sistem pendidikan nasionalpun masih dipertanyakan keampuhannya. Pertanyaannya, lalu apa yang terjadi di daerah terpencil di luar Jawa?
Kembali pada konsep gotong royong nasional tadi. Gerakan beberapa komunitas peduli pendidikan nasional, seperti ‘Tunas Indonesia’ (TI), harus dimaknai secara futuristic komprehensif akan menciptakan gotong royong dalam konteks kemanfaatan masif. Dalam kacamata teknis, apa yang dilakukan komunitas TI bukan sesuatu yang baru. Sudah banyak komunitas lain yang sudah melakukan hal yang sama. Perbedaannya lebih pada siapa donaturnya, dimana donator berdomisili, dan bagaimana cara mendistribusikan donasi kepada anak asuh, serta bagaimana membuat semuanya berjalan secara sustain. Lebih strategis lagi, bagaimana mengembangkan system empowerement/pemberdayaan anak asuh, tidak sekedar sebatas pada pemberian donasi untuk SPP.

GURU PROFESIONAL APAKAH HANYA DENGAN SERTIFIKASI



Permasalahannya adalah, apakah upaya ini benar – benar akan berhasil mewujudkan guru profesional seperti yang diharapkan. Munculnya gagasan peningkatan kualitas guru bermula pada peringatan Hari Guru Nasional tanggal 2 Desember 2004. Pada saat itu Mendiknas dalam rangka penyampaian program 100 hari kerja kabinet, menegaskan satu tema, yaitu “guru sebagai profesi”. Tentu saja pernyataan itu sendiri bukan sesuatu yang baru karena sejak awal munculnya pekerjaan ini hakikatnya sudah diakui sebagai profesi, bahkan profesi terhormat. Yang lebih menarik sebenarnya bahwa tema itu menunjukkan tekad Mendiknas untuk meningkatkan harkat dan martabat guru yang sedang terpuruk. Keterpurukan tersebut bisa dilihat antara lain pada realitas : menjadi guru tampaknya bukan pilihan pekerjaan yang ideal (kalau ada peluang lain ini akan ditinggalkan), juga dari realitas input siswa ke lembaga pendidikan guru bukan lulusan terbaik dari sekolah, yang terlihat dari kelemahan penguasaan materi dari guru-guru yang dihasilkannya; dan yang juga merupakan kenyataan bahwa guru-guru banyak yang melakukan pekerjaan tambahan (yang sering bukan pekerjaan wajar) yang diakibatkan gaji/kesejahteraan guru yang sangat rendah.
Maka dari itu, niat/tekad Mendiknas meluncurkan satu paket pembaharuaan di bidang mutu guru ini tentunya patut diapresiasi, apalagi kemudian didukung dengan upaya- upaya nyata ke arah realisasi tujuan tersebut (dengan undang-undang serta program-program pendukungnya). Namun, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah, apakah niat baik tersebut benar-benar bisa diwujudkan mengingat kondisi objektif yang ada justru belum sinkron dengan upaya-upaya yang sedang dijalankan.